Site icon Informasi Pilkada

Politik Uang di Pilkada Serentak 2024: Tantangan dan Upaya Pencegahannya

politik uang

politik uang

Pilkadanews.com – Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menyampaikan bahwa praktik politik uang masih berpotensi terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang dijadwalkan pada 27 November 2024.

Dalam Forum Koordinasi Sentra Gakkumdu di Makassar, Sulawesi Selatan, pada hari Kamis, Bagja mengungkapkan bahwa politik uang merupakan masalah yang sulit dihilangkan sepenuhnya. Meskipun Bawaslu telah melakukan patroli, praktik tersebut masih terjadi begitu patroli selesai dan Panwascam kembali ke kantor.

Rahmat Bagja menambahkan, pelanggaran politik uang tetap mungkin terjadi, mengingat data tren putusan tindak pidana pemilihan nasional pada tahun 2020 berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menunjukkan adanya puluhan kasus.

Sebanyak 65 kasus melibatkan kepala desa atau pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melanggar pasal 188 karena tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon.Selain itu, terdapat 22 kasus pelanggaran pasal 187A ayat 1 yang melibatkan pemberian dan janji uang atau materi lainnya.

Ada juga 12 kasus pelanggaran pasal 178B yang melibatkan pemilih memberikan suara lebih dari sekali di satu atau lebih Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kasus lainnya mencakup 10 pelanggaran pasal 187 ayat 3 terkait ketentuan kampanye.

Jumlah kasus lainnya termasuk delapan pelanggaran pasal 187 ayat 2 tentang ketentuan kampanye, tujuh pelanggaran pasal 178A tentang penggunaan hak pilih orang lain, dan empat pelanggaran pasal 185B yang melibatkan PPS, PPK, dan KPU provinsi/kabupaten/kota yang tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi.

Selain itu, terdapat empat pelanggaran pasal 178C ayat 2 yang melibatkan penyuruh orang lain yang tidak berhak memilih, empat pelanggaran pasal 198A yang menghalangi penyelenggara pemilihan dalam menjalankan tugas, tiga pelanggaran pasal 187A ayat 2 tentang pemilih yang menerima imbalan atau janji, dan beberapa pelanggaran lainnya dalam Undang-Undang Pilkada.

Menurut Bagja, penting bagi panitia KPPS untuk berasal dari penduduk setempat agar lebih mengenal pemilih dan calon yang dipilih. Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu harus selektif dalam memilih penyelenggara ad hoc di bawahnya.

Bagja juga menekankan bahwa pada Pemilu 2024, hanya pemberi uang yang akan dikenakan pidana, sedangkan penerima tidak. Namun, dalam pemilihan, baik pemberi maupun penerima akan dikenakan pidana, sesuai dengan hukum Islam.

Hal ini diharapkan akan mengurangi jumlah pelapor praktik politik uang, karena risiko pidana yang dihadapi. Dalam hal penanganan pelanggaran pemilihan tahun 2020, Bawaslu mencatat total 5.334 kasus, yang terdiri dari 3.746 temuan dan 1.588 laporan.

Pelanggaran administrasi mendominasi dengan 1.532 kasus, diikuti oleh pelanggaran etik sebanyak 292 kasus, tindak pidana pemilihan sebanyak 182 kasus, pelanggaran hukum lainnya dengan tren dukungan ASN sebanyak 1.570 kasus, dan bukan pelanggaran sebanyak 1.828 kasus.

Proses hukum terhadap tindak pidana pemilihan tahun 2020 mencatat 161 perkara masuk ke Pengadilan Negeri, dengan 155 divonis bersalah, lima bebas, dan satu gugur. Pengadilan Tinggi juga memutus 34 perkara, dengan 16 putusan PN dikuatkan, 16 mengubah putusan PN, tiga membatalkan putusan PN, dan satu tidak diterima.

Bawaslu berharap agar tim pengawas di provinsi dan kabupaten/kota dapat meningkatkan pengawasan mereka selama proses tahapan Pilkada 2024 untuk mengurangi praktik politik uang.

Baca Juga: Profil Lengkap Sohibul Iman: Jejak Karier si Calon Gubernur dari PKS untuk Pilkada Jakarta 2024

Exit mobile version