Pilkada News – Indonesia belum memiliki pengadilan pemilihan daerah (Pilkada) hingga pemilihan umum (Pemilu) 2024. Padahal, Undang-Undang (UU) a Quo menyebutkan bahwa harus ada pengadilan khusus.
Karena itu perlu adanya badan yang akhirnya menentukan hasil pemilu. Fadil Ramadhanil, pengacara Perhimpunan Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem), mengatakan anggota parlemen belum menyusun lembaga peradilan khusus. Baik itu bentuk lembaganya, jenis kekuasaannya, dll.
“Yang lebih penting dari satu lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan hasil kepala daerah, sama sekali belum dibentuk oleh pembentuk UU,” ujarnya saat sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), pada Rabu (21/9/2022) di Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Dia menuturkan ini adalah suatu persoalan hukum yang sangat serius dan dihadapi di masa kini. Maka upaya pengajuan permohonan perubahan UU tersebut ke MK yang dilakukan oleh Perludem sangat penting untuk keperluan demokrasi dalam Pilkada.
“Dan kami berharap Mahkamah dapat menjawab kebutuhan untuk penyelesaian hasil pilkada,” ujar Fadil.
Diketahui, sidang perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 ini adalah pemeriksaan perbaikan permohonan yang diajukan Perludem melalui Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus dan Irma Lidarti selaku Bendahara.
Sidang ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang didampingi Arief Hidayat dan Suhartoyo.
Fadil dalam sidang menyampaikan pihaknya telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang sebelumnya. Kata dia, perbaikan yang dilakukan pada bagian pertama yakni kewenangan MK.
Perludem telah membuatnya dengan memasukkan kewenangan MK mulai dari UUD 1945, UU MK, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, termasuk juga UU Kekuasaan Kehakiman dan Peraturan MK.
“Kedua, pada kedudukan hukum atau legal standing Pemohon,” kata Fadil secara daring dilansir dari situs Mahkamah Konstitusi.
Sebagai informasi, permohonan dalam perkara pengujian UU Pilkada ini materi yang diujikan oleh Perludem yaitu Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pilkada.
Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada menyatakan, “Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.” Pasal 157 ayat (2) UU Pilkada menyatakan, “Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.” Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada menyatakan, “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”
Dalam persidangan yang digelar di MK pada Kamis (8/9/2022), Perludem melalui kuasa hukum Fadli Ramadhanil mengatakan penyelesaian perselisihan hasil pilkada merupakan bagian penting dari sistem penegakan hukum. Proses penyelesaian hasil pilkada adalah garda terakhir untuk melindungi dan memberikan proteksi terhadap proses dan hasil pilkada tetap sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan berintegritas.
“Ketentuan dalam UU a quo menurut kami akan berakibat pada kacaunya proses penyelesaian hasil pilkada karena tidak mungkin menyiapkan suatu lembaga peradilan khusus dalam waktu singkat menjelang dimulainya tahapan pelaksanaan pilkada serentak secara nasional hingga saat ini belum ada bentuk lembaga seperti apa dan kewenangannya apa, mekanismenya seperti apa dan eksistensi kelembagaannya belum ada. Dengan ketentuan dan situasi tersebut menurut kami sebagai Pemohon telah berakibat kepada terancamnya satu tahapan yang penting dari proses penyelenggaraan pilkada yaitu tahapan penyelesaian hasil pilkada,” kata Fadli Ramadhanil.
Fadli menjelaskan, UU Pilkada masih menyebutkan badan peradilan khusus sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan hasil pilkada. Menurut Perludem, hal ini secara terang membuat ketidakpastian hukum yang serius. Maka sudah seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam petitum, Perludem memohon kepada MK agar menyatakan Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perkara perselisihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.” Kemudian Pasal 157 ayat (2) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Perludem juga memohon MK menyatakan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Baca Juga : KPU Papua Terus Berkoordinasi Bahas Anggaran Pilkada dan Pemilu Jelang 2024
Dapatkan informasi terupdate berita polpuler harian dari pilkadanews.com Untuk kerjasama lainya bisa kontak email tau sosial media kami lainnya.