Pilkada News – Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis besok, 7 Juli 2022, akan menggelar sidang pengucapan putusan atas tiga gugatan UU Pemilu. Salah satunya yaitu gugatan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
“Perkara 52/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB),” demikian keterangan tertulis MK.
1. Gugatan Presidential threshold.
Ada empat penggugat dari DPD, mulai dari Ketua AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, serta tiga Wakil Ketua yaitu Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin. Dari PBB, ada Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor.
Mereka menggugat aturan presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Aturan ini diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. La Nyalla dan tiga wakil DPD menilai pasal ini telah menghalangi hak serta kewajiban mereka melindungi kepentingan daerah.
Sementara, Yusril dan Afriansyah menilai pasal ini telah menghilangkan probabilitas partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden secara mandiri. “Akibatnya, memunculkan fenomena yang menempatkan pemodal sebagai pihak yang paling berdaulat di Indonesia dan bukan lagi rakyat,” demikian argumen Yusril.
2. Gugatan Partai Gelora
Di hari yang sama, MK juga akan menggelar sidang pengucapan putusan atas gugatan terhadap UU Pemilu yang diajukan Partai Gelora. Partai yang dipimpin Muhammad Anis Matta ini menggugat Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 UU Pemilu yang mengatur tentang pemilu serentak.
Partai Gelora berpendapat pertimbangan MK mengubah pendapat dalam menetapkan keserentakan Pemilu dikarenakan alasan original intent adalah kurang tepat. “Sehingga jika pemilu dilaksanakan secara terpisah antara pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden adalah konstitusional.”
Dalam argumentasinya, Partai Gelora berangapan Pemilu 2019 telah memperlemah posisi dan peran parlemen dalam sistem presidensial, check and balances tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Partai Gelora menilai hal tersebut merupakan implikasi negatif dari diselenggarakannya pemilu serentak yang membuat pemilih tidak fokus.
“Akibatnya, kualitas anggota legislatif yang rendah dan tidak dapat melaksanakan peran dalam mewujudkan aspirasi rakyat,” demikian argumentasi Partai Gelora.
3. Gugatan Partai Rakyat Adil Makmur
Berikutnya, MK juga akan memutuskan gugatan yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) atas Pasal 173 ayat 1 UU Pemilu. Gugatan atas perkara ini diajukan oleh Ketua Umum Agus Priyono dan Skeretaris Jenderal Dominggus Oktavianus Tobu Kiik.
Dalam gugatannya, Partai Rakyat Adil Makmur menilai proses verifikasi peserta pemilu terhadap partai politik secara faktual yang diatur dalam pasal ini tidak lagi relevan. Selain itu, adanya perlakuan berbeda atau perlakuan istimewa terhadap partai politik yang lolos parliamentary threshold pada Pemilu 2019, dinilai mencederai asas equality before the law.
Sebab, partai di parlemen dinilai sudah mapan dan memiliki kursi yang tentunya dalam batas-batas tertentu memiliki wewenang kekuasaan. “Secara relatif lebih unggul dalam hal kekuatan struktur, infrastruktur dan finansial dibandingkan partai-partai non-parlemen,” demikian argumentasi partai baru ini.
Baca Juga : KPU Sumbar Usulkan Anggaran Pilkada 2024 Rp 154 Miliar, Naik dari Pilkada 2020
(SH)