Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan untuk mengeluarkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait jadwal Pilkada Serentak 2024.
“Pilkada 2024 idealnya dilakukan sebelum November 2024 mengingat rangkaian antara pelaksanaan pemilihan anggota parlemen (Pileg) 2024 yang diusulkan KPU, yaitu pada 21 Februari. Hasil Pileg harus punya kepastian hukum agar dijadikan syarat pendaftaran calon kepala daerah melalui jalur partai politik,” kata Rifqi dalam keterangannya, Senin (17/1).
Dijelaskan beberapa alasan mengapa presiden harus menerbitkan Perppu tentang program Pilkada 2024 terlebih dahulu. Pemilihan waktu Pilkada November 2024 memiliki konsekuensi bahwa pelantikan kepala daerah terpilih baru bisa dilaksanakan mulai Januari 2025. Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga waktu yang dibutuhkan lebih lama dan penuh ketidakpastian.
“Selain itu, nomenklatur SK pengangkatan kepala daerah pasca Pilkada 2020 menegaskan masa jabatannya dalam periode tiga tahun 2021-2024 sehingga biasanya habis masa berlakunya paling lambat 31 Desember 2024,” ujarnya.- Dia menentukan. Kedua, menurut dia, pemerintah harus menyiapkan hingga 270 kepala daerah sementara untuk mengisi kekosongan kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 31 Desember 2024.
“Pengisian kepala daerah sementara di 542 daerah bukanlah tugas yang mudah bagi pemerintah karena akan menguras tenaga sejumlah pejabat pemerintah Tingkat I dan II untuk melaksanakan tugas rangkap,” ujarnya.
Ketiga, menurutnya, Pilkada 2024 yang akan digelar November merupakan “tugas” presiden dan wakil presiden hasil pemilihan Presiden 2024.
Politisi PDI-P ini berpendapat bahwa Pilkada 2024 akan menempatkan pemerintah yang baru terbentuk pada Oktober 2024 untuk segera menangani tugas yang sulit, yaitu memilih. , penghitungan suara mencakup potensi sengketa hasil pemilu dan berbagai potensi pasca tahapan.
“Oleh karena itu Perppu menjadi solusi hukum konstitusional dengan pengertian tidak ada revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu”, tegasnya.
Rifqi menyarankan agar isi Perppu tidak hanya terkait dengan jadwal pilkada, tetapi juga untuk mengisi berbagai celah hukum, standar yang bertentangan dalam undang-undang dan berbagai ketentuan lainnya agar pilkada serentak lebih ideal.