Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden ke-6 Republik Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berharap pemerintah mampu mencegah terbelahnya masyarakat Indonesia secara permanen. Harapan itu disampaikannya melalui tulisannya di akun Facebook resmi SBY yang dikutip CNBC Indonesia, Jumat (8/1/2021).
“Saya ingin menggunakan kesempatan yang baik, di awal tahun 2021 ini, untuk menyampaikan apa yang saya pikirkan dan rasakan. Terus terang, ada kekhawatiran saya yang mendalam menyangkut kehidupan bermasyarakat dan berbangsa akhir-akhir ini. Khususnya berkaitan dengan kerukunan masyarakat atau harmoni sosial yang menurut saya terasa retak dan jauh dari semangat persaudaraan kita sebagai bangsa,” ujar SBY.
SBY mengaku mengamati apa yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 3-4 tahun terakhir ini. Ia menyebut semua bermula dari dinamika politik pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
“Sepertinya dalam kehidupan masyarakat kita terbangun jarak dan pemisah yang semestinya tak terjadi. Terbangun polarisasi yang tajam di antara kita, baik karena faktor identitas, politik maupun ideologi. Sepertinya masyarakat kita harus dibelah dua ~ kita dan mereka. Bahkan, “kita lawan mereka”,” kata SBY.
Sebagaian dari kita, menurut dia, menganggap mereka yang tidak sama identitasnya (misalnya agama, partai politik, dan garis ideologi) adalah lawan.
“Untuk bicara pun merasa tidak nyaman. Garis permusuhan ini bahkan menembus lingkaran persahabatan yang sudah terbangun lama, bahkan lingkaran-lingkaran keluarga,” ujar SBY.
“Saya sungguh prihatin jika lingkaran tentara dan polisi yang harusnya menjadi contoh dalam persatuan dan persaudaraan kita sebagai bangsa juga tak bebas dari hawa permusuhan ini. Keadaan ini sungguh menyedihkan dan sekaligus membahayakan masa depan bangsa kita,” lanjutnya.
Ingatan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu ‘terbang’ ke apa yang dialami pada 1964-1965. Ketika itu, SBY masih bersekolah di SMA.
“Masyarakat kita, bahkan hingga tingkat grassroots, terbelah karena faktor politik dan ideologi. Polarisasi sosial tajam. Pelajar, mahasiswa, pemuda, guru, buruh, petani dan sejumlah elemen masyarakat terbelah. Bahkan berhadap-hadapan. Faktor inilah yang barangkali setelah terjadi Gerakan 30 September 1965 yang berdarah dulu, kekerasan terjadi di seluruh tanah air dengan korban jiwa yang cukup besar,” katanya.
SBY lantas mengungkapkan pengalaman ketika ikut menyelesaikan konflik komunal yang berbasiskan identitas di berbagai daerah. Dalam kapasitas sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, SBY turun ke lapangan untuk menyelesaikan konflik horizontal pascakrisis 1998, khususnya di Sampit, Poso, Ambon dan Maluku Utara.
“Untuk mengakhiri benturan dan kekerasan saja memerlukan waktu 3-4 tahun. Belum fase rekonsiliasi dan trust building yang juga memakan waktu yang lama. Masyarakat lokal saya yakini tahu bahwa korban jiwa dan kerusakan harta benda juga cukup besar,” ujar SBY.
Saat ini, lanjut dia, jika polarisasi antarkubu politik sangat tajam, kehidupan demokrasi pasti tidak sehat. Memilih kandidat dan calon-calon pemimpin, baik di pusat maupun daerah, akan sangat dipengaruhi dan bahkan ditentukan apakah mereka memiliki identitas, paham ideologi dan politik yang sama.
Pria kelahiran Pacitan itu bilang pertimbangan utama dalam memilih pemimpin seperti faktor integritas, kapasitas dan kesiapan untuk memimpin, dianggap tak lagi penting. Kalau hal begini menjadi kenyataan di Indonesia, dan dari tahun ke tahun makin ekstrem, bisa dibayangkan masa depan negeri ini.
Kalau polarisasi sosial dan politik ekstrem, lanjut SBY, kontestasi dalam Pemilu dan Pilkada bisa sangat keras dan tidak damai. Bagi Indonesia yang sepanjang sejarahnya selalu ada konflik, baik vertikal maupun horizontal, keadaan buruk seperti itu harus kita cegah dan hindari.
“Karenanya, mumpung belum terlalu jauh divisi dan polarisasi sosial serta politik di negeri kita, para pemimpin dan semua elemen bangsa harus sadar bahwa sesuatu harus dilaksanakan. Something must be done. Pembiaran dan inaction adalah dosa dan kesalahan besar,” ujar SBY.
“Di sisi lain, jangan pula ada yang justru menginginkan dan memelihara polarisasi sosial-politik yang tajam ini untuk kepentingan pribadi dan politiknya. Kalau ada pihak-pihak yang berpikiran dan bertindak seperti itu, menurut saya mereka bukan hanya tidak bertanggung jawab tetapi juga tidak bermoral. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang sudah benar-benar terbelah dan terpolarisasi secara tajam, sangat tidak mudah untuk menyatukannya kembali,” lanjutnya.
(miq/dru)