REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Abhan menyebutkan sejumlah catatan atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Menurut dia, meskipun secara umum berjalan lancar, pelaksanaan pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19 tidak mudah.
“Tentu tidak mudah menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi covid yang begitu banyak karena saya melihat ada dua prinsip yang berbeda di saat pandemi covid kemudian ada pilkada,” ujar Abhan dalam webinar pada Selasa (5/1).
Ia mengatakan, pilkada erat kaitannya dengan mobilisasi massa, baik saat kampanye maupun pemungutan suara. Sedangkan, upaya pencegahan pandemi Covid-19 dilakukan dengan membatasi interaksi fisik antarorang.
Namun, kedua hal yang berbeda itu harus dilakukan bersamaan. Karena itu, kata Abhan, penyelenggara menyusun regulasi yang akomodatif agar pilkada dapat berjalan dengan tetap memperhatikan kesehatan dan keselamatan warga.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19, yang kemudian direvisi dua kali dengan PKPU Nomor 10 dan PKPU Nomor 13. Bawaslu pun menerbitkan Peraturan Bawaslu Nomor 4 Tahum 2020 dalam rangka mengawasi pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Namun, kata Abhan, regulasi yang sudah ada belum mampu mengakomodasi mekanisme pelaksanaan pilkada secara keseluruhan. Misalnya, terkait pihak-pihak yang wajib mematuhi aturan protokol kesehatan dan lembaga yang berwenang menindak pelanggaran sebelum tahapan penetapan pasangan calon.
“Ketika memang tahapan awal pendaftaran calon belum ada subjek sebagai pasangan calon, maka lebih sebetulnya penekanan siapa yang harus menegakkan aturan covid,” kata Abhan.
Netralitas ASN
Selain itu, Abhan mengatakan, persoalan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) masih tinggi. Abhan menyebutkan, Bawaslu menindaklanjuti lebih dari 1.000 kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Bawaslu merekomendasikan kasus pelanggaran tersebut kepada Komisi ASN (KASN). Kemudian KASN memberikan rekomendasi sanksi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) apabila ASN yang bersangkutan terbukti melanggar netralitas.
Namun, kata Abhan, hanya 60 persen rekomendasi KASN yang ditindaklanjuti PPK. PPK di lingkungan pemerintah daerah yang diisi seorang gubernur, wali kota, atau bupati menjadi faktor penyebab rendahnya jumlah rekomendasi KASN yang ditindaklanjuti.
“Ini saya kira problem catatan ketika PPK itu dijabat oleh bupati yang notabene sebagau pejabat politik, yang notabenenya juga di daerah sebagian bagian dari peserta (pilkada) incumbent (petahana),” kata Abhan.
Dana kampanye
Di sisi lain, ada persoalan laporan dana kampanye pasangan calon yang hanya menjadi formalitas syarat administrasi. Pasangan calon hanya harus memenuhi kepatuhan waktu penyampaian laporan, tepat jumlah sesuai batasan yang diatur Undang-Undang Pilkada, serta kebenaran dan kesesuaian identitas penyumbang.
Menurut Abhan, jika secara formal maka laporan dana kampanye yang disampaikan pasangan calon akan seluruhnya terpenuhi. Akan tetapi, secara riil, kesesuaian besaran nilai dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dengan jumlah yang sebenarnya dihabiskan peserta pilkada tidak bisa dipastikan.
“Laporan LPPDK yang disebutkan Rp 1 Miliar, padahal calon x ini sebetulnya kalau bisa dibandingkan dengan materielnya lebih dari itu,” kata Abhan.
Tak hanya itu, fenomena pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon atau calon tunggal pun terus meningkat. Abhan menyebutkan, Pilkada 2015 ada tiga pasangan calon tunggal, sembilan calon tunggal di Pilkada 2017, 16 calon tunggal di Pilkada 2018, serta 25 calon tunggal di Pilkada 2020 dari 270 daerah yang menggelar pemilihan.
“Saya kira ini menjadi catatan apa penyebabnya sampai begitu banyak calon tunggal di dalam proses pilkada ini,” tutur Abhan.